Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
BeritaHeadlines

Alih-Alih Menjawab, Klarifikasi PUPR Justru Perkuat Dugaan Rekayasa Pengadaan

275
×

Alih-Alih Menjawab, Klarifikasi PUPR Justru Perkuat Dugaan Rekayasa Pengadaan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Pangkalpinang – Masalah dugaan kejanggalan dalam proyek Belanja Pemeliharaan Ponton senilai Rp145 juta di Kota Pangkalpinang memasuki babak baru. Bukannya meluruskan persoalan, klarifikasi resmi pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) justru menimbulkan kontradiksi baru. Publik pun makin curiga ada rekayasa sistematis di balik proyek yang dibiayai dari uang rakyat tersebut.

Example 300x600

Data resmi sistem pengadaan menunjukkan kontrak proyek diteken pada 11 Juli 2025. Namun, pengumuman pemenang baru dirilis 17 Juli 2025. Fakta ini jelas menyalahi aturan dasar pengadaan: kontrak seharusnya diteken setelah pemenang resmi ditetapkan dan masa sanggah berakhir.

“Kalau kontrak dibuat sebelum hasil pemilihan diumumkan, artinya proses sudah diatur sejak awal. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi dugaan kuat indikasi rekayasa,” ujar Hans, perwakilan Lembaga MABESBARA Babel. Kamis (21/08/25).

Dalam klarifikasinya, pihak PUPR mencoba menangkis kritik dengan menyebut bahwa 17 Juli hanyalah batas akhir penandatanganan kontrak, bukan tanggal pengumuman pemenang. Namun, argumen ini dianggap tidak relevan karena data resmi sistem pengadaan jelas menyebut hasil pemilihan diumumkan 17 Juli. Dengan kata lain, kontrak sudah lebih dulu diteken sebelum pemenang resmi ada. Rabu (20/08/25).

Kejanggalan tidak berhenti di situ. Dokumen publik memperlihatkan realisasi dilakukan 8 September 2025. Anehnya, dokumen tersebut tidak mencantumkan nama penyedia maupun NPWP. Kondisi ini membuat publik kehilangan akses untuk mengawasi siapa sebenarnya yang mengerjakan proyek.

Pihak PUPR membantah dengan alasan karena belum ada pencairan. Pernyataan ini justru semakin membingungkan, sebab masalah yang dipersoalkan publik melainkan kolom nama penyedia dan NPWP kosong.

‎“Kalau identitas penyedia sengaja dikosongkan, bagaimana publik bisa ikut mengawasi? Transparansi hilang total,” tegas Virgo, warga Kerabut.

Masalah lain muncul dalam dokumen kontrak yang hanya mencantumkan tulisan “Nomor Kontrak :” tanpa diisi. Padahal, nomor kontrak merupakan dasar hukum pencairan anggaran.

Pihak PUPR membela diri dengan menyebut nomor kontrak pasti akan digunakan saat pencairan tiba. Tapi faktanya, realisasi sudah ditetapkan sementara nomor kontrak kosong. “Tanpa nomor kontrak, dasar hukum pencairan menjadi rapuh. Ini rawan manipulasi administrasi,” kata Hans.

Proyek Rp145 juta ini menggunakan metode Pengadaan Langsung, dengan nilai di atas Rp50 juta. Sesuai Perpres 46 Tahun 2025, seluruh transaksi wajib dilakukan melalui sistem elektronik (SPSE/e-purchasing). Namun, sejumlah data memperlihatkan indikasi proses dilakukan manual.

“Kalau benar manual, berarti ada pelanggaran langsung terhadap perintah Presiden. Itu jelas patut dicurigai sebagai upaya menghindari pengawasan publik,” tambah Hans.

Perpres terbaru juga mengamanatkan bahwa kontrak bernilai Rp50–200 juta yang diberikan kepada UMKM wajib memberikan uang muka minimal 50%. PUPR mengklaim klausul itu ada dalam kontrak, namun penyedia tidak mengajukan pencairan uang muka.

Namun, karena identitas penyedia tidak pernah dibuka ke publik, klaim itu tak bisa diverifikasi. Apakah benar penyedia adalah UMKM? Atau jangan-jangan penyedia bukan UMKM sehingga klausul afirmasi hanya formalitas belaka?

Alih-alih menenangkan publik, klarifikasi PUPR justru menimbulkan pertanyaan baru:

‎1. Mengapa kontrak diteken sebelum pemenang diumumkan?

‎2. Mengapa identitas penyedia dan NPWP tidak dicantumkan?

3. Mengapa dokumen menunjukkan nomor kontrak kosong?

4. Apakah benar proses dilakukan secara elektronik, atau justru manual?

Jawaban pihak PUPR sejauh ini lebih banyak menghindar ketimbang membongkar fakta.

‎Sejumlah warga kini semakin keras menyuarakan kekecewaan. Taufik, warga Kecamatan Bukit Intan, menilai permasalahan ini hanya puncak gunung es.

“Kalau Rp145 juta saja sudah penuh kejanggalan, bagaimana dengan proyek miliaran? Jangan main-main dengan uang rakyat. Aparat hukum harus segera turun tangan,” tegasnya.

Hans dari MABESBARA Babel juga menambahkan, “Klarifikasi PUPR tidak menjawab substansi. Justru makin memperkuat dugaan rekayasa. Kalau BPK turun tangan, ini bisa jadi temuan besar yang berimplikasi hukum.”

Hal ini kini menjadi bola panas. Di satu sisi, publik menuntut transparansi dan penegakan aturan. Di sisi lain, PUPR berupaya meyakinkan bahwa semua proses sesuai aturan.

‎Namun, pertanyaan mendasar masih menggantung: mengapa data resmi menunjukkan pola kontrak dulu, pemenang belakangan dan nama penyedia serta NPWP masih kosong?

‎Tanpa jawaban tegas, wajar bila publik menilai ada dugaan praktik maladministrasi hingga dugaan indikasi KKN terstruktur. Semua mata kini tertuju pada Pemkot Pangkalpinang, BPK, dan aparat penegak hukum.

(TIM)

Baca Berita Sebelumnya:

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *