
Bangka Tengah – Masyarakat di provinsi Bangka Belitung semakin mempertanyakan sikap aparat kepolisian terhadap keberadaan seorang bos timah ilegal yang disebut-sebut sebagai legenda mafia timah di wilayah tersebut. Bos Abas, seorang pengusaha timah yang diduga kuat menjalankan bisnis ilegalnya tanpa tersentuh hukum, kembali menjadi sorotan publik setelah berbagai laporan mengenai aktivitasnya terus muncul, namun tidak ada tindakan hukum yang nyata.
Dugaan keterlibatan jaringan luas dalam bisnis ilegal ini semakin menguat, terlebih lagi setelah informasi dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa Bos Abas tidak hanya membeli pasir timah ilegal di rumahnya, tetapi juga memiliki alat lobi dan sistem penggorengan pasir timah sendiri. Bahkan, ia dikabarkan memiliki jaringan kuat di tingkat nasional.
Sejumlah warga dan pemerhati hukum di Bangka Belitung menilai bahwa Polres Bangka Tengah dan Polda Bangka Belitung seolah menutup mata terhadap aktivitas ilegal yang sudah bertahun-tahun terjadi ini.
“Sudah banyak berita yang mengungkapkan aktivitas ilegal Bos Abas, bahkan ada laporan langsung ke pihak kepolisian. Tapi, hingga saat ini belum ada tindakan nyata. Kenapa bisa seperti itu?” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Sabtu siang (22/03/25).
Beberapa pihak menduga adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan aparat tertentu yang sengaja tidak mengambil langkah hukum terhadap Bos Abas. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat yang menginginkan penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
Secara hukum, aktivitas yang dilakukan oleh Bos Abas masuk dalam kategori tindak pidana yang bisa dikenai berbagai pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:
1. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengancam setiap orang yang melakukan pertambangan tanpa izin dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 miliar.
2. Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dapat menjatuhkan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar bagi pelaku yang mencemari lingkungan.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang memungkinkan hasil dari bisnis ilegal dikategorikan sebagai pencucian uang, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
Dengan dasar hukum yang begitu kuat, masyarakat mempertanyakan mengapa hingga saat ini Bos Abas masih bisa beroperasi dengan bebas.
Dugaan Pembiaran dan Konsekuensi Hukum bagi Aparat
Jika kepolisian terbukti melakukan pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal ini, maka mereka dapat dianggap melakukan maladministrasi dan bahkan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam:
1. Pasal 421 KUHP, yang menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya dapat dipidana hingga 4 tahun penjara.
2. Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam pejabat yang menerima suap atau gratifikasi untuk tidak menjalankan tugasnya dengan hukuman 4-20 tahun penjara atau seumur hidup.
Masyarakat berharap agar pihak Propam Polri, KPK, dan Ombudsman RI segera turun tangan untuk mengusut dugaan keterlibatan aparat dalam pembiaran aktivitas ilegal ini.
Merespons hal ini, sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis di Bangka Belitung meminta agar pihak kejaksaan dan lembaga hukum lainnya turun tangan. Jika kepolisian tidak bertindak, maka KPK atau Kejaksaan Agung dapat mengambil alih penyelidikan untuk memastikan adanya keadilan hukum di Bangka Tengah.
“Kami tidak ingin hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jangan sampai penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil, sementara mafia besar dibiarkan bebas,” ujar salah satu aktivis Bangka Belitung.
Dengan semakin banyaknya laporan dan tekanan dari masyarakat, kini publik menunggu apakah aparat hukum akan benar-benar menjalankan tugasnya atau justru terus membiarkan legenda mafia timah Bangka Tengah ini beroperasi tanpa hambatan.
(TIM JOURNAL)