
Pangkalpinang – Proses pengadaan barang dan jasa di Kota Pangkalpinang kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, proyek Belanja Pemeliharaan Ponton senilai Rp145 juta yang dikelola Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) diduga sarat kejanggalan dan berpotensi melanggar aturan terbaru pengadaan pemerintah.
Berdasarkan data resmi sistem pengadaan, kontrak proyek diketahui diteken pada 11 Juli 2025. Padahal, pengumuman pemenang baru dirilis pada 17 Juli 2025. Kondisi ini jelas menyalahi aturan, sebab kontrak seharusnya hanya dibuat setelah pemenang resmi ditetapkan dan masa sanggah berakhir.
“Kalau kontrak dibuat sebelum pemenang resmi diumumkan, jelas ada indikasi pengaturan sejak awal. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bisa masuk kategori rekayasa pengadaan,” ungkap Hans, perwakilan Lembaga MABESBARA Babel, saat dimintai tanggapan. Rabu Siang (20/025).
Keanehan tidak berhenti di sana. Dokumen pencairan dana yang sudah dilakukan pada 8 September 2025 tidak mencantumkan nama penyedia maupun NPWP. Publik pun tidak memiliki akses untuk mengetahui siapa pihak yang mengerjakan proyek ini.
“Kalau identitas penyedia sengaja dikosongkan, bagaimana masyarakat bisa mengawasi? Transparansi hilang total,” ujar Virgo, warga Kerabut.
Selain itu, dokumen kontrak juga hanya menuliskan “Nomor Kontrak :” tanpa diisi. Padahal, nomor kontrak merupakan dasar legalitas pencairan anggaran. “Tanpa nomor kontrak, pencairan dana Rp145 juta menjadi rapuh secara hukum. Kami menduga ada manipulasi administrasi untuk memperlancar pencairan,” tambah Hans.
Proyek ini menggunakan metode Pengadaan Langsung dengan nilai di atas Rp50 juta. Sesuai Perpres 46 Tahun 2025, transaksi tersebut wajib dilakukan secara elektronik (SPSE/e-purchasing). Namun, sejumlah data menunjukkan proses ini diduga tidak sepenuhnya dilakukan secara digital.
“Kalau benar dilakukan manual, berarti melanggar perintah Presiden. Hal ini patut dicurigai sebagai upaya menghindari pengawasan publik,” tegas Hans.
Aturan terbaru juga mengharuskan pemberian uang muka minimal 50% untuk penyedia berstatus UMKM pada kontrak bernilai Rp50–200 juta. Namun, karena identitas penyedia tidak dipublikasikan, publik tidak bisa memastikan apakah ketentuan afirmatif itu dipenuhi.
Kombinasi kejanggalan kontrak diteken sebelum pemenang diumumkan, identitas penyedia dan NPWP dikosongkan, nomor kontrak tidak ada, serta dugaan pelanggaran digitalisasi semakin memperkuat indikasi adanya rekayasa pengadaan.
“Polanya jelas: kontrak diteken dulu, pemenang diumumkan belakangan. Kalau BPK turun tangan, ini bisa jadi temuan besar,” kata Hans.
Sejumlah warga juga menyuarakan kekecewaan atas lemahnya transparansi Pemkot Pangkalpinang. “Kalau Rp145 juta saja sudah penuh kejanggalan, bagaimana dengan proyek miliaran? Jangan main-main dengan uang rakyat. Aparat hukum harus segera turun tangan,” tegas Ridwan, warga Kecamatan Bukit Intan.
Publik kini menunggu jawaban resmi dari Pihak PUPR Kota Pangkalpinang terkait sejumlah hal krusial:
1. Mengapa kontrak diteken sebelum pemenang diumumkan?
2. Mengapa nama dan NPWP penyedia disembunyikan?
3. Mengapa nomor kontrak kosong padahal dana sudah dicairkan?
4. Apakah proses benar dilakukan sesuai ketentuan elektronik dalam Perpres 46/2025?
Tanpa klarifikasi yang transparan, publik wajar menilai ada praktik maladministrasi hingga indikasi korupsi terstruktur.
Hingga berita ini diterbitkan, tim media masih berupaya mengonfirmasi pihak Dinas PUPR Kota Pangkalpinang guna memperoleh penjelasan resmi.
(Tim)